Senin, 28 Juni 2010

1 Jam

seorang bapak kembali pulang telat dari tempatnya bekerja, merasa letih.
Mendadak sudut matanya melihat anaknya yang berumur 5 tahun berdiri di depan pintu kamarnya.
Takut-takut menatap sang ayah.
“Ayah, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”, tanya anak, mengerjap-ngerjapkan matanya yang bulat bening.
“Ya, Tentu saja. Apakah yang akan kau tanyakan ?” jawab bapaknya.
“Ayah, berapa uang yang Ayah dapatkan dalam satu jam?”
“Itu bukan urusanmu! Apa yang membuatmu bertanya seperti itu ?”bapaknya berkata dengan nada tinggi.
Agak marah dia rupanya.
“Aku hanya ingin tahu. Berapakah yang ayah terima?” pinta sang anak.
“Jika kamu benar2 ingin tahu, ayah terima $ 20.00 per jam”.
“Oh, begitu,” angguk sang anak. Sambil mendongak, dia berkata, pelan.
“Ayah, bolehkah aku pinjam $10.00?” sang anak meminta dengan memelas.
“Jika alasan kamu ingin tahu jumlah uang yang ayah terima hanya untuk dapat pinjam dan membeli mainan yang tak berguna atau sesuatu yang tidak masuk akal, maka kamu sekarang masuk kamar dan tidur.
Apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu egois? Ayah bekerja dengan susah payah setiap hari,
dan tidak punya waktu untuk mainan anak2,” sentak Sang Ayah.
Sang anak mengkerut.
Dia tak berkata sepatah katapun. Hanya menunduk dan perlahan berbalik.
Sang anak menurut masuk kamar dan menutup pintu.
Tapi diam-diam dia menahan agar air matanya tak mengalir jatuh.
Sang ayah duduk dan semakin marah karena pertanyaan anaknya.
Beraninya dia menanyakan pertanyaan hanya untuk mendapatkan uang.
Namun setelah lebih dari satu jam, sang ayah sudah tenang dan mulai berpikir bahwa dia agak keras terhadap anaknya.
Mungkin anaknya membutuhkan sesuatu yang dia ingin beli dengan uang $10.00 tersebut,
dan dia juga jarang meminta uang. Sang ayah pergi ke kamar anaknya dan pintunya dibuka.
“Sudah tidur, anakku?” dia bertanya. “Tidak ayah, saya masih terjaga,” jawab anaknya, ragu-ragu.
“Ayah berpikir, mungkin ayah terlalu keras terhadap kamu barusan”, kata sang ayah.
“Hari ini hari yang berat dan ayah melampiaskannya kepada kamu.
Ini $ 10.00 yang kamu pinta,” ucap Sang Ayah, berusaha tersenyum.
Sang anak bangun dan menyalakan lampu.
“Oh, terima kasih ayah!” sang anak berteriak kegirangan.
Kemudian, dia mengambil sesuatu dari bawah bantalnya dan ternyata isinya uang.
Sang ayah melihat anaknya sudah mempunyai uang, kembali emosinya naik.
Hendak marah. Sang anak menghitung dengan perlahan uangnya, kemudian menatap ayahnya.
“Kenapa kamu meminta lagi uang jika kamu sudah punya?” gerutu ayahnya
“Karena belum cukup, tapi sekarang aku sudah punya cukup uang”, balas sang anak.
“Ayah, saya punya $ 20.00 sekarang. Bolehkah aku beli satu jam dari waktumu?”

Masalah adalah Hadiah

Bila anda menganggap masalah sebagai beban, anda mungkin akan menghindarinya. Bila anda menganggap masalah sebagai tantangan, anda mungkin akan menghadapinya. Namun, masalah adalah hadiah yang dapat anda terima dengan suka cita. Dengan pandangan tajam, anda melihat keberhasilan di balik setiap masalah. Itu adalah anak tangga menuju kekuatan yang lebih tinggi.
Maka, hadapi dan ubahlah menjadi kekuatan untuk sukses anda. Tanpa masalah, anda tak layak memasuki jalur keberhasilan. Bahkan hidup ini pun masalah, karena itu terimalah sebagai hadiah.

Hadiah terbesar yang dapat diberikan oleh induk elang pada anak-anaknya bukanlah serpihan-serpihan makanan pagi. Bukan pula, eraman hangat di
malam-malam yang dingin. Namun, ketika mereka melempar anak-anak itu dari tebing yang tinggi. Detik pertama anak-anak elang itu menganggap induk mereka sungguh keterlaluan, menjerit ketakutan, matilah aku. Sesaat kemudian, bukan kematian yang mereka terima, namun kesejatian diri sebagai elang, yaitu terbang.
Bila anda tak berani mengatasi masalah, anda tak kan menjadi seseorang yang sejati.

Minggu, 27 Juni 2010

Mengapa Aku Sayang Padamu Tasian Rahman Hakim

matamu memandang mataku,
jemarimu menyentuh jemariku,
kau tersenyum, aku tersipu;
awal kasih yang sederhana,
karena
Sayangmu tak lebih dari sepenggal pagi
yang selalu membangunkan

kau singkap kelambu hatiku,
kau tuang anggur dalam cawanku,
dua centi meter dari dasarnya,
'aku tak ingin kau mabuk', katamu

karena
Sayangmu tak lebih dari seberkas cahaya yang
menemani malam

tak ada rangkaian kata yang mempesona,
kata-kataku tenggelam dalam dekapmu,
kata-katamu karam dalam rengkuhanku,
detak hatimu gemuruh dadaku, meletup namun tak
menggores, beriak namun tak jadi gelombang,
berayun lembut,
mengatupkan mataku matamu dalam indah
yang tak menjulang

karena
Sayangmu tak lebih dari seteguk air yang
menghapus dahagaku

kau tak biarkan sedihku menjadi tangis,
kau tak biar tawaku jadi lupa,
kau tak pernah pasangkan pasung di kakiku agar
aku bisa berjalan, berlari,
kau tak pernah ikatkan rantai di tanganku,
agar aku bisa genggam dunia,
meraih harapan,
karena
Sayangmu selimut yang menentramkan

kau biarkan aku:
pergi dan datang dalam puisimu
memilih syair menulis kisah sendiri
karena
Sayangmu angin yang membimbing
kau bebaskan aku
jadi jiwa mandiri

karena itu
aku sayang padamu
sungguh...