Rabu, 19 Maret 2008

Enam Batu Ujian Cinta

Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami cukup dalam untuk menghantar kami
ke
arah berdampingan seumur hidup, menuju kepada kesetiaan yang sempurna?
Bagaimana kami dapat yakin bahwa cinta kami ini cukup matang untuk
diikat
sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut
memisahkan?

Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama.

Cinta sejati ingin merasakan bersama, memberi, mengulurkan tangan.Cinta
sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri.
Jika
kalian membaca sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi
ini bersama sahabatku? Jika kalian merencanakan sesuatu,adakah kalian hanya
berpikir tentang apa yang ingin kalian lakukan, ataukah apa yang akan
menyenangkan pihak lain? Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis
Jerman
pernah mengatakan, "Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin.
Karena yang penting dalam perkawinan ialah membuat pihak yang lain
bahagia.
- mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin. Karena
yang penting di sini ialah mengerti pasangannya." Maka batu ujian yang
pertama ialah: "Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu? Apakah
aku

ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"

Kedua, Ujian kekuatan.

Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang
risau
hatinya. Dia pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan seseorang
akan
berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta. Meskipun dia sendiri
mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat
badannya
dan inilah yang merisaukan hatinya. Memang benar, bahwa pengalaman
cinta itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani. Tapi dalam jangka panjang
cinta
sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan
memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan memenuhi
kalian
dengan kegembiraan serta membuat kalian kreaktif, dan ingin
menghasilkan

lebih banyak lagi. Batu ujian kedua: "Apakah cinta kita memberi
kekuatan

baru dan memenuhi kita dengan tenaga kreaktif, ataukah cinta kita
justru
menghilangkan kekuatan dan tenaga kita?"

Ketiga, Ujian penghargaan.


Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain. Seorang
gadis
mungkin mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan
mencetak banyak gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "apakah
aku
mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku?", jawabnya sering sekali
menjadi negatif. Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang
dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku?", gadis tadi
mungkin akan berubah dalam pandangannya. Pertanyaannya ialah: "Apakah
kita
benar-benar sudah punya penghargaan yang tinggi satu kepada yang
lainnya?
Apa aku bangga atas pasanganku?"

Keempat, Ujian kebiasaan.

Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada
saya. Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya,
"tapi
aku tak tahan caranya dia makan apel." Gelak tawa penuh pengertian
memenuhi
ruangan. "Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan
kawin berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan
itu
akan berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi.
Kalian
harus menerima pasanganmu sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan
dan
kekurangannya. Pertanyaannya: "Apakah kita hanya saling mencintai atau
juga
saling menyukai?"

Kelima, Ujian pertengkaran.


Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin kawin, saya selalu
menanyakan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar
-
tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar
bagaikan berperang. Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah,
kami saling mencintai." Saya katakan kepada mereka, "Bertengkarlah
dahulu -
barulah akan kukawinkan kalian." Persoalannya tentulah, bukan
pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi. Kemampuan
ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian
pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum
kawin.
Pertanyaannya: "Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"

Keenam, Ujian waktu.

Sepasang muda mudi datang kepada saya untuk dikawinkan. "Sudah berapa
lama
kalian saling mencintai?" tanya saya. "Sudah tiga, hampir empat
minggu,"

jawab mereka. Ini terlalu singkat. Menurut saya minimum satu tahun
bolehlah. Dua tahun lebih baik lagi. Ada baiknya untuk saling bertemu,
bukan saja pada hari-hari libur atau hari minggu dengan berpakaian
rapih,
tapi juga pada saat bekerja di dalam hidup sehari-hari, waktu belum
rapi,
atau cukur, masih mengenakan kaos oblong, belum cuci muka, rambut masih
awut-awutan, dalam suasana yang tegang atau berbahaya. Ada suatu
peribahasa
kuno, "Jangan kawin sebelum mengalami musim panas dan musim dingin
bersama
dengan pasanganmu." Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan
cintamu,

sang waktu akan memberi kepastian. Tanyakan: "Apakah cinta kita telah
melewati musim panas dan musim dingin? Sudah cukup lamakah kita saling
mengenal?"

Dan izinkan saya memberikan suatu kesimpulan yang gamblang. Seks bukan
batu
ujian bagi cinta. "Jika sepasang muda mudi ingin punya hubungan seksual
untuk mengetahui apakah mereka saling mencintai, perlu ditanyakan pada
mereka, "Demikian kecilnya cinta kalian?" Jika kedua-duanya berpikir,
"Nanti malam kita mesti melakukan seks - kalau tidak pasanganku akan
mengira bahwa aku tidak mencintai dia atau bahwa dia tidak mencintai
aku,"
maka rasa takut akan kemungkinan gagal sudah cukup menghalau
keberhasilan
percobaan itu. Seks bukan suatu batu ujian bagi cinta, sebab seks akan
musnah saat diuji. Cobalah adakan observasi atas diri saudara sendiri
pada
waktu saudara pergi tidur. Saudara mengobservasi diri sendiri, kemudian
tidak bisa tidur. Atau saudara tidur, kemudian tidak lagi bisa
mengobservasi diri sendiri. Sama benar halnya dengan seks sebagai suatu
batu ujian untuk cinta. Saudara menguji, sesudah itu tidak lagi mau
mencintai. Atau saudara mencintai, kemudian tidak menguji. Untuk
kepentingan cinta itu sendiri, cinta perlu mengekang menyatakan dirinya
secara jasmaniah sampai bisa dimasukkan ke dalam dinamika segitiga
perkawinan.

Tidak ada komentar: